Marah, sebel, kesel, sedih, cinta benci sayang, pingin punya motor, pingin punya laptop , pingin blackbery, pingin duit banyak, pingin kamar bagus, pingin nikah, pingin jadi pebisnis suskses…dll….Seabrek keinginan manusia merupakan penampakan dari naluri yang dimiliki.
Dalam Mafaahim Islamiyyah karangan Muhammad Husain Abdullah dikatakan Al Gharizah atau naluri adalah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang mampu mendorongnya bertendensi pada al-asyya dan al-a’maa, atau punya tendensitas untuk menahan dari al-asyya dan al-a’maal. Semua itu mengacu kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia. Naluri adalah suatu khaasiyah yang fitri dan ada di dalam diri manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk menjaga kepada nau’nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini tidak bisa diketahui oleh indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau oleh akal lewat indikasi madhohirnya.
Yup itulah salah satu potensi yang telah ALLAH SWT berikan kepada kita manusia, yang pada dasaranya setiap detik dan waktu kita rasakan dan lakukan. Trus what’s wrong with gharizah???
Nah inilah yang harus kita kaji bersama…mungkin pada bagian ini saya tidak akan menggambarakan secara utuh terkait perkara ini, tapi hanya sedikit menggamabrakan apa yang harus kita lakukan…coz mengkaji tentang gharizah butuh pengkajian mendalam dengan waktu yang lebih dari dua jam. Dan jika dituliskan mungkin akan mengambil jatah rubrik yg lainnya…(pada intinya jika mau tau maka ngaji dong!!!)J.
***
Amarah seringkali menyelimuti aktifitas kita. Rasa ego senantiasa ingin memenangkan logika yang ada. Ketika sesuatu yang tidak diharapkan itu hadir didepan mata serasa hanya kebencian dan kejengkelan yang muncul. Tabi’i (alamiah)-nya memang seperti itu tapi sobat sungguh ketika mabda menjadi qiyadah berfikir kita maka seharusnya bukan itu yang kita lakukan.
Mungkin flash back dulu. Di atas disebutkan dua istilah yang mungkin diantara sobat Re Id baru mendengarnya- mabda dan qiyadah fiqriyah-.
Dalam kitab Nidzom Al Islaam karya syekh Taqyuddin an Nabhani bab Qiyadah Fiqriyaah dikatakan bahwa mabda adalah aqidah akliyah (aqidah yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan peraturan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan aqidah aqliyah adalah Islam. Adapun Qiyadah fikriyah adalah kepemimpinan berfikir maksudnya segala proses berfikir seseorang dilandasi oleh sebuah pemahamana dan keyakinan dalam hal ini Islam. Sehingga segala hal yang dia fikirkan dalam rangka memecahkan permaslahannya harus distandarisasi oleh Islam.
Jika membahas pengendalian gharizah baik itu gharizah baqa (naluri mempertahankan diri), gharizah tadayyun (naluri mentaqdiskan atau maensucikan sesuatau), ataupun gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan) maka harus dilandaskan pada mabda Islam karena mabda Islam sudah dijadikan sebagai kepemimpinan berfikirnya. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika seseorang belum memiliki kepemimpinan berfikir Islam apakah dia tidak mampu memecahkan permasalahan gharizahnya?
Jawabnya adalah…bisa. Hanya saja dia akan memenuhinya dengan kepemimpinan berfikir yang dia miliki. Ketika perasaan yang menjadi landasan utama dalam berfikir maka diapun akan menyalurkan gharizahnya berdasarkan perasaan.
Kembali ke contoh awal. Sesorang yang selalu melampiaskan kekesalan, kemarahannya berdasarkan perasaan semata akan berbeda dengan orang yang melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang dipimpin oleh mabda.
Seseorang yang melampiaskan kemarahannya dengan naluri atau perasaan semata akan terlihat menyamaratakan segala hal yang dianggap membuat “marah”. Tanpa memperhatikan apakah hal tersebut melanggar atau tidak melanggar aturan-aturan Islam (syara’), karena sandarananya hanya perasaan semata. Sedangakan jika seseorang dimpin oleh mabda maka kemarahan dan kekesalan itu ditempatkan pada posisi apakah suatu hal itu melanggar syara’ atau tidak. Sehingga akan nampak penyaluran dari gharizah baqa’ yang tepat.
Begitupun jika kita melihat pada penampakan gharizah tadayyun. Gharizah tadayyun adalah naluri yang diciptakan Allah untuk manusia dimana manusia memiliki kecendrungan untuk mensucikan atau mengkultuskan sesuatu. Ketika yang memimpin hanya semata-mata naluri atau perasaan maka kecendrungan ini akan ditampakkan dengan wujud penyembahan kepada sesuatu yang “tidak masuk akal” untuk disembah. Misalnya penyembahan terhadap manusia, penyembahan terhadap pohon, binatang, roh leluhur atau bahkan penyembahan terhadap sistem buatan manusia. Sedangkan jika gharizah tadayyun ini disalurkan melalui proses berfikir yang benar terlebih dahulu maka akan terlihat penampakan berupa penyembahan kepada sesuatu zat “yang layak” disembah atau disucikan.
Tidak terkecuali dengan gharizah nau’. Gharizah nau’ tampak dari kecendrungan seseorang merasakan sayang dengan yang lainnya (sayang kepada anggota keluarga, teman, dsb), kecendrungan seseorang tertarik dengan lawan jenis. Pengendalian gharizah nau’ dengan menggunakan perasaan akan memunculkan perasaan sayang dan cinta semata hanya sekedar penyaluran naluri bukan muncul dari proses berfikir yang benar serta tidak berlandaskan pada koridor syara’. Sehingga tidak mengherankan jka banyak aktivis pacaran ,aktivis kumpul kebo, aktivis lesbi dan gay, serta aktivis perselingkuhan. Inilah beberapa penampakan dari gharizah nau’. Dalam Islam di atur hubungan yang halal antara pria dan wanita hanya melalaui pernikahan (eits maksudnya bagi yg gak senazab ya…). Begitupun seorang anak akan mencintai kedua orang tuanya serta berbakti kepada mereka didasarkan pada perintah dari Allah SWT yang mewajibkan seseorang untuk birrul walidaaiin kepada kedua orangtuanya. Ketaatan dan pengabdian kepada kedua orangtua adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh seorang anak selama kedua orangtua memerintahkan pada hal-hal yang melanggar hukum Allah. Sebaliknya jika orang tua memerintahkan untuk berbuat ingkar kepada Allah (melanggar segala hukum-hukumNya) maka tidak ada kewajiban pada seorang anak untuk mentaatinya.
Inilah penampakan-penampakan dari gharizah. Jadi teringat penjelasan Ustadz ketika menjelaskan hadist ke empat dari hadist ‘Arbaiin Imam Nawawi di Kampus perjuangan dalam dirosah Syarah Hadist ‘Arbaiin . Berdasarkan hadist keempat yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman ‘Abdullaah Ibnu Mas’ud ra Ustadz menjelaskan bahwa dari awal penciptaan Allah sudah mengetahui baik dan buruk yang akan menimpa manusia. Begitupun dengan permasalahan apakah manusia akan masuk syurga ataukah neraka, maka Allah telah mengetahui sebelumnya.
Dari penjelasan tersebut dan jika dikaitkan dengan pembahasan Al gahrizah, dimana gharizah ini adalah fitrah manusia maka kita akan memahami bahwa dari awal manusia sudah diberikan pilihan dan Allah tidak akan menghisab keberadaan potensi manusia untuk memilih. Yang dihisab adalah pada tataran jalan mana yang akan dipilih oleh manusia apakah dia akan memenuhi gharizahnya dengan menggunakan perasaan semata ataukah dengan proses berfikir yang benar dengan landasan hukum syara’. Dan pasti kedua pilihan itu secara fitrah muncul pada diri manusia, karena manusia dibekali akal dan perasaan.
Mungkin terlihat rumit namun sebenarnya gak bakalan rumit jika kita benar-benar memahami keberadaan kita sebagai makhluk ciptaan Allah. Sobat RE ID yang kita dipertemukan karena Allah…marilah kita menyadari bahwa segala potensi yang kita miliki baik itu berupa potensi saling mencintai, potensi eksistensi diri, potensi ingin memiliki, potensi beribadah, dan potensi-potensi yang lainnya adalah bagian dari keMaha Kuasaan Allah sebagai Pencipta. Segala potensi itu adalah karunia yang diberikan kepada kita hambaNya yang bernama manusia. Dan pada dasarnya Allahpun telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dalam memenuhi seluruh potensi itu..
Analoginya sederhana mislkan kita diminta oleh orangtua untuk berkunjung ke rumah salah seorang kerabat, sementara kita tidak mengetahui jalannya. Maka pasati orangtua kita aka memberikan petunjuk jalan menuju kesana. Jika petunjuk itu kita ikuti insya Allah kita tidak akan tersesat, sebaliknya jika ego yang bermain maka kemungkinan besar kita akan mengabaikan petunjuk itu akibatnya kitapun akan tersesat. Apatah lagi yang memberikan petunjuk itu adalah Allah – Zat Yang Maha Mengetahu kelebihhan dan kekurang hambaNYA-. Sebesar apapun kecendrungan gharizah itu muncul maka kita akan bisa menyalurkannya dengan benar jika kita mengikuti petunjukNya - hukum syara-.
Sehingga ketika gharizah baqa’ dikendalikan dengan benar maka tidak akan ada hati yang tersakiti akibat kesalahan kita menempatkan kata-kata saat berbicara dengan saudara kita. Ketika gharizah nau’ dikendalikan sesuai koridor syara maka tidak akan muncul “cinta terlarang”. Begitupun ketika gharizah tadayyun disalurkan dengan benar maka akan muncul idraksilatu billaah yang begitu kuat dan kita tidak akan menjadikan sisitem buatan manusia sebagai “sesembahan” dalam kehidupan.
Sobat RE ID…dimanapun Anda berada mari kita renungkan kembali akan penciptaan ini…semoga naluri-naluri yang menjadi fitroh bagi manusia mampu kita arahakn dengan benar karena ada mabda Islam yang menyelimuti ruang berfikir kita...
Penampakan Islam ada pada diri setiap individu Muslim, jadi tampilkanlah diri kita sebagai seorang muslim yang sesungguhnya tidak menjadikan mabda vis a vis dengan naluri tetapi justru Mabda-lah yang harus mengarahkan gharizah.
Wallahu a’laam bi shshawaab
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar