Di Jakarta sejak tahun 1980 Fakultas Pascasarjana dari
Fakultas Sastra Universitas Indonesia telah membuka Program Kajian Wilayah
Amerika Serikat. Rupanya program itu maju dan dianggap penting sehingga bulan Maret
1984 Program Kajian itu mendapat gedung baru seharga Rp 160 juta. Pemerintah
Amerika yang antusias terhadap program itu memikul setengah dari biaya
pengadaan program (sumbangan uang Rp 50 dan Rp 30 juta untuk pengadaan
buku-buku). Tampaknya pemerintah Amerika senang dengan adanya Program Kajian
Wilayah AS Karena menambah jumlah orang Indonesia yang benar-benar memahami
cara berpikir dan bertindak orang Amerika, agar komunikasi antara kedua bangsa,
baik di sector pemerintah maupun swasta, berjalan lancar.
Sering timbul pertanyaan mengenai motif untuk memilih belajar
di Amerika, misalnya ketika orang ada pilihan untuk belajar di Jepang, Jerman, Prancis,
Australia, Inggris, Negeri Belanda - seumpamanya kondisi objektif tentang mutu
pendidikan di negara-negara itu sama. Sayang belum ada riset yang menjelaskan
pertanyaan itu. Namun dari percakapan dengan mereka yang pernah belajar dalam
ilmu-ilmu sosial di Amerika, dari pengalaman pribadi semasa berada di
lingkungan Harvard University, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan yaitu
misalnya kemudahan bahasa karena bahasa Inggris merupakan bahasa kedua yang
diajarkan sejak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Tapi di sini dapat
muncul pertanyaa kalau begitu mengapa tidak belajar di Australia atau Inggris
saja yang jug menggunakan bahasa Inggeris?
Alasan kedua, ialah karena kebanyakan studi-studi yang ada
setelah Indonesia merdeka kebanyakan buatan ahli-ahli Amerika. Alasan ketiga
bahwa Amerika sebagai super power - militer, politik dan ekonomi - dan karenanya
diperkirakan merupakan pusat pendidikan terbaik di dunia di mana dapat ditimba
ilmu pengetahuan, dapat dipelajari berbagai teori dan terdapat metodologi riset
yang baik.
Ada juga penjelasan historisnya. Buat mereka yang sudah cukup
besar selama Revolusi, kekaguman itu muncul setelah Amerika berhasil menekan
Belanda dalam perjuangan kemerdekaan dan buat mereka yang tidak suka Soekarno dan
PKI maka Amerika dianggap sebagai alternatif. Di sini juga terlihat rasa kagum
akan kehebatannya, juga akan «America way of life». Alasan keempat ialah bahwa
di Indonesia setelah kemerdekaan hampir sebahagian besar tokoh-tokoh dari
lingkungan universitas, lembaga-lembaga penelitian seperti LIPI dll., dan juga
dari kalangan militer adalah terdiri dari mereka yang pernah mengenyam
pendidikan di sana.
Alasan kelima ialah perkiraan bahwa jumlah beasiswa di Amerika
akan lebih besar dari negara negara lainnya dan sistem pendidikan Amerika di
mana para mahasiswa dituntun, seperti kebiasaan di Indonesia, dan tidak dibiarkan
mencari sendiri seperti yang dianggap terjadi di Eropa Barat. Di sini
pengalaman dari mereka yang pernah belajar di Amerika dan di Eropa sering
dijadikan patokan bagi mereka yang berminat untuk belajar di Amerika. Prestise
dari para teknokrat Orde Baru yang dikenal luas sebagai orang-orang pintar yang
mendapat pendidikan Amerika besar pengaruhnya.
Belakangan, setelah Dr. Habibie yang dididik di Jerman - dan
di mana banyak anggota stafnya adalah lulusan Eropa - menjabat berbagai jabatan
tinggi termasuk menjadi Menteri Riset dan Teknologi dan fakta bahwa di lembaga penelitian
CSIS terdapat banyak mereka yang lulusan universitas-universitas Eropa, terbuka
perspektif lain dalam arti pendidikan Eropa juga diperhitungkan. Namun
demikian, pengaruh jaringan dan sistem pendidikan Amerika yang sudah tersusun
sejak tahun 50'an sudah menjadi terlalu dominan untuk diimbangi begitu saja.
Untuk mendapat gambaran tentang pengaruh besar Amerika itu
bisa dilihat dari lulusan Amerika yang tersohor namanya di Indonesia – dan yang
punya jabatan penting, dalam hal ini lihat misalnya betapa banyaknya doktor-doktor
lulusan Amerika yang menjadi menteri sejak Orde Baru berdiri - dan
lembaga-lembaga tempat mereka bekerja. Nama-nama dan lembaga-lembaga yang
disebutkan dalam tulisan ini tampak agak lebih membicarakan tentang mereka yang
bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial, ekonomi dibandingkan dengan bidang-bidang
lainnya seperti bidang pendidikan, teknis, militer, dll. Ini karena masalah
bahan dan teknis semata-mata.
Ada tiga karangan yang masih baru mengenai sejarah
perkembangan dan keadaan ilmu-ilmu sosial dan ekonomi di Indonesia sekarang
ini; sayangnya pada waktu tulisan ini diturunkan tidak didapatkan tulisan-tulisan
yang serupa di bidang-bidang lainnya.
Demikianlah, di kalangan ilmuwan sosial yang juga memangku
jabatan penting, dapat kita ajukan beberapa nama, misalnya Prof. Selo
Soemardjan, Dekan Fakultas ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia yang pertama sejak
berdiri sendiri (1968) setelah tadinya berada di naungan Fakultas Hukum. Di
samping menjadi anggota Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS), beliau pernah menjadi Ketua Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial (YIIS, didirikan tahun 1974) di Indonesia dan dalam jabatannya telah
merekomendasikan tidak sedikit orang untuk belajar ke Amerika. YIIS juga aktif
mendidik ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia melalui Pusat-Pusat Latihan Ilmu-ilmu
Sosial yang diadakan di Indonesia (Aceh, Jakarta, Ujung Pandang) dan di mana
banyak dari direktur-direkturnya adalah orang-orang lulusan Amerika atau
profesor dari Amerika (di Aceh, misalnya, Direktur Pusat Latihan 1985-1986
ialah William Liddle dari Ohio State University). Peranan beberapa intelektual
yang lama tinggal dan dekat dengan Amerika seperti halnya dengan bekas tokoh
Partai Sosialis Indonesia, Soedjat Soedjatmoko, bekas anggota Perwakilan
Indonesia di Amerika Serikat zaman revolusi, Duta Besar Indonesia di Amerika
Serikat (1968-1971), bekas Penasehat Ahli Bappenas, kini Rektor Universitas PBB
di Tokyo, yang pernah menjadi anggota Board of Director dari the Ford
Foundation, tidaklah sedikit. Tahun 1985, Soedjatmoko - was acknowledged to
be one of Asia's fore most
intellectuals- menjadi satu dari empat orang yang mendapat piagam penghargaan
untuk -their outstanding
contributions toward a greater understanding between Americans and Asians- dari The Asia Society di New York.
Begitu juga tokoh lainnya seperti prof. Ali Wardhana yang meskipun
menjabat Menteri tetap menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
untuk waktu yang cukup lama, Mochtar Buchori (lulusan Harvard), Deputi Ketua Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harsja Bachtiar (juga dari Harvard) dan Taufik
Abdullah yang pernah menjadi Ketua LEKNAS.
Beberapa nama dari orang-orang didikan Amerika lainnya yang
terkenal karena karangan-karangan maupun posisi akademis, sosial dan politik mereka
misalnya ialah Menteri Saleh Afif , Onghokham, Kuntowidjojo, Amin Rais,
Nurcholis Madjid (Bekas tokoh HMI), Melly Tan, Sjahrir (bekas tokoh Malari 74).
Beberapa kota di Amerika malah diabadikan oleh beberapa pendidik dan pengarang
seperti Budi Darma (Orang-Orang Bloomington, namakota tempatnya belajar di
Amerika), Omar Khayam («Kunang-kunang di Manhattan», bagian utama kota New
York) dan Arief Budiman tak ketinggalan menuliskan sebuah buku tentang
pengalamannya belajar di USA.
Tidak sedikit pula mereka yang belajar Public Administration,
Business Administration, Fakultas-Fakultas Teknik dari kalangan sipil dan
militer di luar nama-nama yang disebutkan di atas. Di antara para seniman, misalnya,
penyair dan dramawan W.S. Rendra namanya melejit setelah tinggal beberapa tahun
di New York. Di lingkungan wartawan, untuk menyebut beberapa nama dapat disebut
Nono Anwar Makarim (bekas
pemimpin
harian KAMI) yang kini jadi pengacara terkenal «multinational» di Jakarta,
Sabam Siagian (pemimpin Redaksi Jakarta Post), Aristides Katoppo (Sinar Harapan
dan Mutiara), Fikri Jufri (Tempo). Di luar nama-nama itu banyak lainnya yang
menduduki jabatan senior di berbagai bidang dan malah menduduki posisi-posisi
penting di dalam tubuh negara yang tidak mungkin disebutkan semuanya di sini;
yang muda-muda juga tidak sedikit jumlahnya
[Sumber
: Mohamad Nasir TAMARA Studi Indonesia (dan Asia Tenggara) di Amerika Serikat
serta pengaruh “American way of thinking”, Jurnal Volume. 33. 1987]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar