My Comitmen

Dakwah adalah poros kehidupan. Di jalan dakwah kubahagiakan orangtua, dijalan dakwah kutemukan asa, cita dan cinta
*******
"Resopa temma ngingi namalomo naletei pammase Dewata"
(Usaha keras dan terus menerus menjadi jalan mudahnya pertolongan Allah swt)

Rabu, 30 Mei 2012

MUTILASI IDEOLOGI


Ntah sejak kapan terpikir istilah ini, pastinya setelah membaca sebuah novel pembunuhan (tepatnya mutilasi) membuatku terngiang-ngiang dengan istilah "mutilasi". Ditambah dengan semakin "edannya" kondisi masyarakat yang mencampakkan sebagian hukum islam dan menjalankan sebagian yg lainnya. Ibadah jalan terus maksiat pun tetap ok...

Ya mutilasi ideologi Islam terjadi ketika kita melepaskan bagian-bagian Islam. Mencabik unsur-unsurnya serta memisahkan aturan2nya...Coba kita bayangkan jika kita melihat, mendengar kabar mutilasi manusia. Sebagai seorang manusia yg punya naluri pasti kita ngeri membayangkannya. Pasti yang terbersit dalam benak kita bahwa pelaku mutilasi itu terlalu dan amat SADIS.

Nah bagaimana jika yang dimutilasi adalah ideologi?? sebuah aturan yang wujudnya harus utuh, bangunannya harus sempurna jika tidak maka dia tidak kan berdiri kokoh bahkan mati tidak ada artinya...Padahal ideologi inilah yang akan menghantarkan manusia pada kemuliaan dan kesejahteraannya.

Apakah kita akan membiarkan pelaku mutilasi itu "hidup tenang"?? tentunya kita akan menuntut pelakunya agar segera ditindak oleh pihak yg berwenang.

Demikian pula pelaku mutilasi ideologi Islam yaitu -- SEKULARSIME KAPITALIS, yang antek2nya adalah liberalisme, pluarlisme, multikulturalisme, demokrasi, nasionalisme-- harusnya tak bisa kita biarkan tetap hadir di dunia ini. Bertahta dengan kesombongannya, seakan tiada salah dia justru menawarkan racun2 mutilasi lainnya kepada generasi2 muslim. Mereka menawrkan sesuatu yang menggelapkan mata ummat muslim, menyebabkan ummat tidak tau bahwa SEKULARISMELAH "pembunuh" yang sesungguhnya

Mutilasi ideologi jauh lebih parah dibandingkan mutilasi terhadap seorang manusia, karena mutilasi ideologilah yg menajdi biang keladi terjadinya mutilasi manusia.Tidak sekedar satu dua orang tapi jutaan bahkan bisa jadi milyaran manusia yg akan termutilasi akibat penjahat bejat yang namanya SEKULARISME..

SAY NO TO KAPITALISM, SAY NO TO SEKULARISM, SAY NO TO LIBERALISM.....

AND JUST ISLAM AS WAY OF LIVE...

Wow, Intelektual Indonesia Belajarnya di Amerika



Di Jakarta sejak tahun 1980 Fakultas Pascasarjana dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia telah membuka Program Kajian Wilayah Amerika Serikat. Rupanya program itu maju dan dianggap penting sehingga bulan Maret 1984 Program Kajian itu mendapat gedung baru seharga Rp 160 juta. Pemerintah Amerika yang antusias terhadap program itu memikul setengah dari biaya pengadaan program (sumbangan uang Rp 50 dan Rp 30 juta untuk pengadaan buku-buku). Tampaknya pemerintah Amerika senang dengan adanya Program Kajian Wilayah AS Karena menambah jumlah orang Indonesia yang benar-benar memahami cara berpikir dan bertindak orang Amerika, agar komunikasi antara kedua bangsa, baik di sector pemerintah maupun swasta, berjalan lancar.

Sering timbul pertanyaan mengenai motif untuk memilih belajar di Amerika, misalnya ketika orang ada pilihan untuk belajar di Jepang, Jerman, Prancis, Australia, Inggris, Negeri Belanda - seumpamanya kondisi objektif tentang mutu pendidikan di negara-negara itu sama. Sayang belum ada riset yang menjelaskan pertanyaan itu. Namun dari percakapan dengan mereka yang pernah belajar dalam ilmu-ilmu sosial di Amerika, dari pengalaman pribadi semasa berada di lingkungan Harvard University, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan yaitu misalnya kemudahan bahasa karena bahasa Inggris merupakan bahasa kedua yang diajarkan sejak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Tapi di sini dapat muncul pertanyaa kalau begitu mengapa tidak belajar di Australia atau Inggris saja yang jug menggunakan bahasa Inggeris?

Alasan kedua, ialah karena kebanyakan studi-studi yang ada setelah Indonesia merdeka kebanyakan buatan ahli-ahli Amerika. Alasan ketiga bahwa Amerika sebagai super power - militer, politik dan ekonomi - dan karenanya diperkirakan merupakan pusat pendidikan terbaik di dunia di mana dapat ditimba ilmu pengetahuan, dapat dipelajari berbagai teori dan terdapat metodologi riset yang baik.

Ada juga penjelasan historisnya. Buat mereka yang sudah cukup besar selama Revolusi, kekaguman itu muncul setelah Amerika berhasil menekan Belanda dalam perjuangan kemerdekaan dan buat mereka yang tidak suka Soekarno dan PKI maka Amerika dianggap sebagai alternatif. Di sini juga terlihat rasa kagum akan kehebatannya, juga akan «America way of life». Alasan keempat ialah bahwa di Indonesia setelah kemerdekaan hampir sebahagian besar tokoh-tokoh dari lingkungan universitas, lembaga-lembaga penelitian seperti LIPI dll., dan juga dari kalangan militer adalah terdiri dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan di sana.

Alasan kelima ialah perkiraan bahwa jumlah beasiswa di Amerika akan lebih besar dari negara negara lainnya dan sistem pendidikan Amerika di mana para mahasiswa dituntun, seperti kebiasaan di Indonesia, dan tidak dibiarkan mencari sendiri seperti yang dianggap terjadi di Eropa Barat. Di sini pengalaman dari mereka yang pernah belajar di Amerika dan di Eropa sering dijadikan patokan bagi mereka yang berminat untuk belajar di Amerika. Prestise dari para teknokrat Orde Baru yang dikenal luas sebagai orang-orang pintar yang mendapat pendidikan Amerika besar pengaruhnya.

Belakangan, setelah Dr. Habibie yang dididik di Jerman - dan di mana banyak anggota stafnya adalah lulusan Eropa - menjabat berbagai jabatan tinggi termasuk menjadi Menteri Riset dan Teknologi dan fakta bahwa di lembaga penelitian CSIS terdapat banyak mereka yang lulusan universitas-universitas Eropa, terbuka perspektif lain dalam arti pendidikan Eropa juga diperhitungkan. Namun demikian, pengaruh jaringan dan sistem pendidikan Amerika yang sudah tersusun sejak tahun 50'an sudah menjadi terlalu dominan untuk diimbangi begitu saja.

Untuk mendapat gambaran tentang pengaruh besar Amerika itu bisa dilihat dari lulusan Amerika yang tersohor namanya di Indonesia – dan yang punya jabatan penting, dalam hal ini lihat misalnya betapa banyaknya doktor-doktor lulusan Amerika yang menjadi menteri sejak Orde Baru berdiri - dan lembaga-lembaga tempat mereka bekerja. Nama-nama dan lembaga-lembaga yang disebutkan dalam tulisan ini tampak agak lebih membicarakan tentang mereka yang bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial, ekonomi dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya seperti bidang pendidikan, teknis, militer, dll. Ini karena masalah bahan dan teknis semata-mata.

Ada tiga karangan yang masih baru mengenai sejarah perkembangan dan keadaan ilmu-ilmu sosial dan ekonomi di Indonesia sekarang ini; sayangnya pada waktu tulisan ini diturunkan tidak didapatkan tulisan-tulisan yang serupa di bidang-bidang lainnya.

Demikianlah, di kalangan ilmuwan sosial yang juga memangku jabatan penting, dapat kita ajukan beberapa nama, misalnya Prof. Selo Soemardjan, Dekan Fakultas ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia yang pertama sejak berdiri sendiri (1968) setelah tadinya berada di naungan Fakultas Hukum. Di samping menjadi anggota Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS),  beliau pernah menjadi Ketua Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS, didirikan tahun 1974) di Indonesia dan dalam jabatannya telah merekomendasikan tidak sedikit orang untuk belajar ke Amerika. YIIS juga aktif mendidik ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia melalui Pusat-Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial yang diadakan di Indonesia (Aceh, Jakarta, Ujung Pandang) dan di mana banyak dari direktur-direkturnya adalah orang-orang lulusan Amerika atau profesor dari Amerika (di Aceh, misalnya, Direktur Pusat Latihan 1985-1986 ialah William Liddle dari Ohio State University). Peranan beberapa intelektual yang lama tinggal dan dekat dengan Amerika seperti halnya dengan bekas tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soedjat Soedjatmoko, bekas anggota Perwakilan Indonesia di Amerika Serikat zaman revolusi, Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat (1968-1971), bekas Penasehat Ahli Bappenas, kini Rektor Universitas PBB di Tokyo, yang pernah menjadi anggota Board of Director dari the Ford Foundation, tidaklah sedikit. Tahun 1985, Soedjatmoko - was acknowledged to be one of Asia's fore  most intellectuals- menjadi satu dari empat orang yang mendapat piagam penghargaan untuk  -their outstanding contributions toward a greater understanding between Americans and Asians-  dari The Asia Society di New York.


Begitu juga tokoh lainnya seperti prof. Ali Wardhana yang meskipun menjabat Menteri tetap menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk waktu yang cukup lama, Mochtar Buchori (lulusan  Harvard), Deputi Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harsja Bachtiar (juga dari Harvard) dan Taufik Abdullah yang pernah menjadi Ketua LEKNAS.

Beberapa nama dari orang-orang didikan Amerika lainnya yang terkenal karena karangan-karangan maupun posisi akademis, sosial dan politik mereka misalnya ialah Menteri Saleh Afif , Onghokham, Kuntowidjojo, Amin Rais, Nurcholis Madjid (Bekas tokoh HMI), Melly Tan, Sjahrir (bekas tokoh Malari 74). Beberapa kota di Amerika malah diabadikan oleh beberapa pendidik dan pengarang seperti Budi Darma (Orang-Orang Bloomington, namakota tempatnya belajar di Amerika), Omar Khayam («Kunang-kunang di Manhattan», bagian utama kota New York) dan Arief Budiman tak ketinggalan menuliskan sebuah buku tentang pengalamannya belajar di USA.

Tidak sedikit pula mereka yang belajar Public Administration, Business Administration, Fakultas-Fakultas Teknik dari kalangan sipil dan militer di luar nama-nama yang disebutkan di atas. Di antara para seniman, misalnya, penyair dan dramawan W.S. Rendra namanya melejit setelah tinggal beberapa tahun di New York. Di lingkungan wartawan, untuk menyebut beberapa nama dapat disebut Nono Anwar Makarim (bekas
pemimpin harian KAMI) yang kini jadi pengacara terkenal «multinational» di Jakarta, Sabam Siagian (pemimpin Redaksi Jakarta Post), Aristides Katoppo (Sinar Harapan dan Mutiara), Fikri Jufri (Tempo). Di luar nama-nama itu banyak lainnya yang menduduki jabatan senior di berbagai bidang dan malah menduduki posisi-posisi penting di dalam tubuh negara yang tidak mungkin disebutkan semuanya di sini; yang muda-muda juga tidak sedikit jumlahnya

[Sumber : Mohamad Nasir TAMARA Studi Indonesia (dan Asia Tenggara) di Amerika Serikat serta pengaruh “American way of thinking”, Jurnal Volume. 33. 1987]